Cinta.... memang tak ada habis-habisnya untuk dikupas. Dari awal pertama kalinya manusia hidup di bumi sampai kiamat nanti. Adam dan Hawa dipertemukan dengan cinta, hingga muncul-lah generasi penerusnya. Semua orang tak luput dari yang namanya cinta.
BIRUNYA LANGIT CINTA, sebuah novel karya Azzura Dayana mengingatkan saya pada kisah masa SMA beberapa tahun yang lalu. Sudah lama sebenarnya saya membaca novel ini, kira-kira di awal tahun 2007, kelas 1 SMA. Waktu itu saya ikut menjadi panitia bedah buku dan training Zero to Hero bersama Ust. Sholihin yang diselenggarakan oleh KARISMA(Kelurga Besar Rohis SMA/SMK/MA se-Purworejo). Alhamdulillah waktu itu saya sudah bergabung dengan organisasi dakwah tingkat kabupaten ini.
Sambil menunggu syuro, biasanya kami sambil membaca buku. Kebetulan ada kakak angkatan dari SMA lain yang sedang membaca novel Birunya Langit Cinta. Saya sudah lumayan dekat dengan akhwat tersebut. Karena waktu itu saya direkomendasikan untuk menjadi ketua keputrian(sama seperti peran Daiyah, tokoh utama Novel tersebut), saya tiba-tiba dipinjemi buku itu. Katanya, agar dapat mengambil hikmah dari buku itu. Belum bilang pinjem, udah dipinjemi, Alhamdulillah.
Bagus critanya. Alami dan nyata. Aktivis dakwah bukan malaikat yang terlepas dari nafsu. Aktivis dakwah juga bisa merasakan cinta. Dan cinta itu tak perlu di’kebiri’ seperti layaknya seorang pelayan gereja. Seorang aktivis dakwah tak perlu dipojokkan dengan perasaan cintanya, tapi upaya mengendalikan cinta itu yamg perlu dilakukannya.
Apa yang terjadi pada diri Dey(tokoh utama), mirip apa yang saya alami waktu itu. Dimana aktivitas saya yang harus bersinggungan dengan ikhwan-ikhwan sesama pengurus rohis. Ditambah lagi dengan datangnya guru Bahasa Inggris baru di SMA saya.
Semester II, kelas satu SMA saya sudah mulai disibukkan dengan aktivitas dakwah di sekolah. Ntah kenapa sama anak-anak kelas XI(pengurus rohis), saya lumayan dispecialkan dari pada anak kelas X lainnya. Dimana ketika teman-teman satu angkatan masih pada jadi peserta atau panitia teknis, saya sudah disertakan menjadi panitia inti. Dengan seperti itu saya menjadi sangat dekat dengan pengurus rohis. Kedekatan saya dengan pengurus rohis dan juga keterlibatan saya dalam aktivitas dakwah yang lebih jauh ini temtunya menuai konsekuensi. Konsekuensi menjadi tambah sibuk itu pasti. Tapi konsekuensi ikhwan pada tambah simpati itu yang merisaukan hati.
Mengarungi samudra cinta.......
Kenaikan kelas sudah di depan mata, otomatis estafet amanah untuk mengelola lembaga dakwah bergulir. Satu minggu setelah kenaikan kelas, Rohis SMA saya mengadakan reorganisasi(pelantikan pengurus baru). Memang benar, akhirnya saya mendapan amanah sebagai ketua keputrian, yang sebelumnya ingin dicalonkan oleh ketua rohis lama sebagai ketua rohis, karena tak terlihat ada ikhwan yang loyak terhadap dakwah sekolah waktu itu. Karena pertimbangan masalah kepemimpinan perempuan akhirnya saya ditetapkan menjadi ketua keputrian. Walaupu saya sebagai ketua keputrian, amanah mas’ul rohis seperti tetap terlimpah dipundak saya.
Dua hari setelah reorganisasi, saya dan dua akhwat lainnya mencoba untuk merapikan file-file rohis yang ada di masjid. Sambil sedikit demi sedikit mempelajari administrasi rohis. Pada saat kami asyik merapikan file, ketua rohis angkatan sebelumnya tiba-tiba menyapa kami dari balik hijab. Sekedar menanyakan apa yang sedang kami kerjakan. Namun, tiba-tiba dia menyibakkan hijab yang membatasi tempat ikhwan dan akhwat. Kami kaget, tapi sudah biasa hal itu dilakukan(nakalnya anak rohis..he....). sehingga kami hanya berjarak, tak lebih dari 2 meter.
Awalnya sedikit membahas rohis, tapi tak disangka setelah itu sebuah pernyataan yang terasa membakar hati. Sebuah pernyatan cinta, dan mengharap sebuah status. Ya bisa dikatakan pacaran. Saya terdiam sesaat, mengatur emosi. Air mata sekuat tenaga saya tahan agar tak jatuh. Saya ingin terlihat tegar dihadapannya. Dengan tegas saya tolak pernyataannya. Saya ungkapkan seluruh argumen saya, dari yang bersifat syari’ah sampai dengan yang bersifat etika kemanusiaan. Tapi dia tetap tak bergeming. Dia selalu mematahkan argumen saya. Dengan keputusan akhir, saya masih bertahan dengan pendirian saya, begitupun dia. Akhirnya dia pergi dari masjid sambil marah-marah.
Saya pejamkan mata, bulir-bulir air mata mulai mengalir dari kedua belah sudut mata saya. Rasa sakit mengiris hati. Tak kusangka dia yang selama ini saya kagumi, bisa berbuat seperti ini. Saya berkhusnudzon di dalam hati, semoga dia lakukan ini hanya untuk menguji kekuatan prinsip saya.
Memori saya memutar kebeberapa bulan yang telah lewat. Saat awal-awal saya dan dia ketemu, memang signal-singnal itu sudah terasa. Tidak saya pungkiri, saya juga menaruh simpati pada dirinya. Apalagi kedekatan saya dengannya dalam aktivitas di Rohis maupun Karisma lebih dekat dibanding dengan akhwat-akhwat dikepengurusannya. Tapi saya tepis perasaan itu, karena saya tidak mau hati ini terkotori oleh perasaan itu.
Air mata saya tak berhenti sampai saya terlelap digelapnya malam. Perasaannya campur aduk, kecewa, benci, merasa bersalah, yang paling utama, merasa dilecehkan, merasa direndahkan sebagai seorang akhwat.
Setelah kejadian itu hubungan kami membeku beberapa minggu. Saya muak jika bertemu dengannya. Akhirnya dia minta maaf dengan perbuatannya itu, beberapa minggu kemudian setelah melalui proses diskusi lewat sms, lumayan panjang.
Setelah kejadian itu saya anggap tak pernah terjadi apa-apa antara kami berdua. Walaupun begitu, dia masih sangat perhatian dengan diri saya. Yang masih melekat di memory saya, waktu hp saya mati dia meminjamkan hp-nya untuk saya, karena waktu itu saya sangat membutuhkannya untuk koordinasi dengan teman-teman di SMA lain dalam persiapan acara yang diadakan Karisma. Saya menolaknya, tapi hp-nya tetap ditinggal dihalaman kost yang saya tempati. Selain itu, selama saya kelas III SMA, sedangkan dia sudah bekerja di Jakarta(karena belum mendapat kesempatan untuk kuliah), beberapa kali dia pulang dan membawakan madu untuk saya, karena kondisi kesehatan saya yang semakin menurun. Saya tak tau harus bersikap seperti apa dengan perbuatannya tersebut. Dan sebelum Ramadhan kemarin dia juga kerumah saya, karena mendengar kabar kalau saya sakit dan harus mengambil cuti kuliah.
Bukan hanya itu kisah diawal kelas II SMA. Waktu itu ada guru bahasa inggris baru juga, di sekolah saya dan kebetulan mengajar kelas saya. Ntah kenapa, pertama kali beliau ada kelas di kelas saya, terlihat sedikit ada perhatian khusus pada diri saya. Bukan hanya saya yang merasakan tapi teman saya pun merasakan hal yang sama. Sehingga teman-teman saya sering jodoh-jodohin saya dengan guru tersebut. Bedanya dengan Dey(tokoh utama novel), saya tidak ada perasan apa-apa terhadap guru tersebut. Walaupun guru tersebut masih sangat muda. Hanya kagum karena kecerdasannya.
Tidak berhenti di sini....
Dengan amanah yang saya rasakan sangat berat, rasa butuh perhatian itu pasti ada. Ditengah kegersangan semangat pada diri saya. Ada seorang alumni yang saya rasakan memberikan perhatian lebih, pada diri saya. Dia seorang ikhwan, sebut saja akh Hasan(bukan nama asli). Awalnya saya merasa biasa-biasa saja. Kagum sih biasa, saya yakin semua yang tau beliau pasti menaruh kagum padanya, entah akhwat, entah ikhwan. Guru-guru pun juga sering mengambil teladan dari dia. Sholeh, organisator dan berperestasi.
Semakin hari kita semakin sering berhubungan via dunia maya, karena beliau tinggal di Jabodetabek. Masalah-masalah terkait dakwah sekolah kami coba pecahkan bersama. Namun, suatu hari ada seorang alumni yang kebetulan tinggal satu daerah dengannya, cerita kesaya bahwa dia bertemu dengan akh Hasan.
Dia bertanya pada akh Hasan,” akh, sering hubungi khusnul nggak?”
“Iya, emang kenapa? Emang dia sudah ada yang ‘mesen’?” jawab akh Hasan.
Setelah kejadian itu, saya mulai jaga jarak. Tapi saya rasakan dia malah tambah cair. Padahal dia terkenal ikhwan yang sangat menjaga. Tak terasa benih-benih bunga mulai bermekaran dihati saya seiring berjalannya waktu. Saya mencoba untuk terus menekannya. Walaupun kadang harus berbuah air mata. Satu do’a yang sering saya panjatkan, “segerakan dia untuk menikah”. Saya selalu menepis pikiran bahwa dia memiliki perasaan terhadap saya. Saya tau banyak akhwat yang mendambakan dirinya untuk menjadi pendamping hidup.
Waktu pun terus berjalan. Saatnya saya mulai meningkalkan bangku SMA. Alhamdulillah saya diterima di dua kampus sekaligus. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanpa tes, dan juga di UGM dengan masuk melalui UM UGM. Bingung itu pasti karena itu pilihan utama semua, yang ketrima. Ditambah komentar-komentar dari teman-teman, ada yang nyaranin ke UIN, ada yang nyaranin ke UGM. Namun pas hari terakhir daftar ulang, subuh-subuh dia sms saya, yang bisa saya simpulkan, meyakinkan saya untuk memilih UIN.
Alhamdulillah, dipenghujung semester satu saya kuliah, dia mengabarkan kepada saya, bahwa dia akan menggenapkan separuh dien-nya. Rasa sakit itu tetap ada, tapi saya tetap bersyukur, hati saya menjadi tenang.
Memasuki bangku kuliah cobaan virus merah jambu itu terus membayang-bayangi kehidupan saya. Ada beberapa yang lewat perantara teman, teman satu kampus, teman satu organisasi. Sampai-sampai pada semester satu, tersebar kabar bahwa saya akan menikah. Guru ngaji saya yang tabayyun langsung pada diri saya.
Karena hal inilah yang mendorong saya mengignginkan untuk nikah muda. Salah satunya untuk menghindari fitnah.
Crita terakhir mungkin sedikit konyol tapi benar-benar terjadi, ada dua orang teman akhwat yang bilang kesaya kurang lebih sama,”kalau aku ikhwan, mungkin aku juga akan mencintaimu, mengharapkan kamu menjadi pendampingku.”
Waduh... sebenarnya apa yang terjadi didalam diri saya? Cantik nggak, pinter juga nggak, malah sakit-sakitan?
Wallahua’lam bissowab...
Semoga Allah selalu menjaga kita semua dari segala fitnah dunia. Amiin...
Nb: penyelesaian masalah-masalah tersebut tidak terlepas dari membaca buku-buku proU lain yang bertema merah jambu.