Laman

Kamis, 20 Januari 2011

KISAH DUA ORANG SAHABAT


            Sebut saja Resti dan Ilma. Dua bocah ini bersahabat sejak kelas satu SMA. Sudah seperti saudara hubungan di antara mereka berdua. Mereka di pertemukan pada sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah sekolah. Tak ada yang meragukan lagi loyalitas keduanya dalam menyerukan agama Allah. Padahal mereka berasal dari latar belakang keluarga yang bertolak belakang.
            Dalam sebuah persahabatan bukannya tidak mungkin terjadi perselisihan. Kerap memang terjadi perselisihan di antara mereka. Apa lagi saat-saat mereka duduk di kelas satu SMA. Salah paham sering sekali terjadi karena belum bisa saling memahami.
            “Sifat Resti itu sebenarnya seperti apa si Lyl?” tanya Ilma pada Lyla, teman Resti saat SMP.
            “Emang kenapa Ilma?” tanya Lyla, meminta kejelasan.
            “Hari ini sikapnya aneh banget sama aku. Dia banyak diemnya, padahal kan aku harus koordinasi sama dia. Aku takut kalau ada salah yang aku lakukan kepada dia, tapi aku tidak merasakannya,” jawab Ilma menjelaskan.
            “Memang seperti itu lah sifat Resti. Mungkin dia sedang ada masalah. Jangan diambil hati,” jawab Lyla.
            Mulai saat itulah Ilma bisa menerima segala sifat Resti. Dia mulai belajar dan bejar sifat sahabatnya itu, agar tidak terjadi perselisihan lagi.
            Tibalah saatnya mereka harus berpisah. Mereka berdua sama-sama mendaftar di sebuah perguruan tinggi favorit di daerah Jogja. Tentunya pada jurusan yang berbeda. Karena minat mereka pun berbeda. Berangkat-menginap-pulang nya pun bersama.
            Nasib lah yang menentukan mereka. Ilma yang sudah duluan diterima di sebuah perguruan tinggi islam, keterima di perguruan tinggi favorit itu juga. Sedangkan Resti kebalikannya, dia tidak diterima.
            Akhirnya Resti yang punya idealisme tinggu itu, mencoba ikut lewat jalur SNMPTN. Namun, memang nasib belum berpihak kepadanya juga. Dia belum juga keterima. Karena dia hanya ingin kuliah di suatu jurusan di pergurun tinggi favorit itu, makanya dia rela untuk menunggu waktu satu tahun. Satu tahun itu dia pergunakan untuk belajar. Dia mencoba kembali ikut tes jalur mandiri di tahun berikutnya. Alhamdulillah dia keterima.
            Di saat Resti bisa menggapai impiannya. Ilma jatuh sakit dan harus berhenti dari kuliahnya. Otomatis nasib mereka berbalik. Ilma dengan sakitnya itu harus berdiam diri di rumah.
            Rasa putus asa pastilah itu yang dirasakan Ilma. Sementara dia melihat Resti yang terus menanjak karir dakwah nya di kampus, sedangkan Ilma hanya bisa termenung di rumah dengan sakitnya.
            Dengan sabar Resti selalu menghibur dan menyemangati Ilma, seperti apa yang dilakukan Ilma dulu ketika dia belum bisa melanjutkan kuliah. Berbula-bulan Ilma terpuruk dengan kondisinya. Namun, dengan dukungan besar dari Resti, Ilma bisa bangkit dari keterpurukannya.
            Dengan kemampuannya dalam bidang tulis menulis, Ilma mulai mengembangkan kemampuannya tersebut. Akhirnya dengan semangat yang tidak pernah putus, Ilma bangkit dan hidup dengan tulisan-tulisannya. Sehingga dia banyak di kenal orang.

Hikmah:
ü  Dalam bersahabat itu kita harus saling mengenal dan memahami satu sama lain, agar tidak terjadi perselisihan.
ü  Dalam bersahabat kita harus saling mendukung dan menasehati. Berteman dalam susah maupun sedih.
ü  Nasib  seseorang hanya Allah lah yang tahu, maka kita harus memasrahkan hidup dan mati kita kepada Allah.
ü  Kita harus bangkit, tidak boleh putus asa, dengan cobaan yang di berikan Allah kepada kita. Karena sesungguhnya Allah punya rencana lain yang lebih indah dibalik cobaan yang diberikan.

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp.

Sabtu, 15 Januari 2011

Belajar Self Publishing

Beberapa hari yang lalu aku kebingungan mencari penerbitan untuk naskah novel pertamaku yang barusaja aku tulis. Naskah itu aku selesaikan dalam waktu empat belas hari. jangan kira aku hanya menulis itu doang setiap harinya. walaupun setiap harinya aku hanya mampu untuk menulis karena segala keterbatasanku, tapi tetap saja aku mengerjakan hal yang lainnya. di tambah lagi lampu yang sering mati dan dan semangatku yang bisa tiba-tiba turun tanpa sebab.
Eh kok malah cerita novel... yuk kembali ke pencarian penerbit.
Aku buka satu persatu profil penerbit yang aku tahu. Satu, dua, tiga sampai tak tahu berapa jumlahnya. dari penerbit yang kelas paus sampai yang kelas teri, jugapenerbit indie yg baru saja berdiri. Aku jatuh cinta pada beberapa penerbit. tapi aku masih meyakinkan diriku.
Lihat penerbit indie ada paket-peket yang pake ISBN, ada juga yang nggak pakai ISBN. jadi penasaran apa ISBN. dasar nggak gaul diriku. lha mau gaul gimana orang nggak pernah keluar rumah sama sekali.

Senin, 03 Januari 2011

KAU BANGKITKAN AKU

            Kisah menulis saya di mulai tujuh bulan yang lalu. Ketika UAS aku harus masuk rumah sakit. Dan aku harus mengambi cuti kuliah. Padahal waktu itu baru menginjak akhir tahun pertama di kampus.
Rasa tidak terima, down, putus asa, itu pasti terjadi pada diri saya sampai tiga bulan yang lalu. Ketika melihat pisau, rasanya ingin sekali menyayat kulit saya sendiri. Pikiran untuk eutanasia pun pernah melitas di pikiran saya. Karena tidak kuatnya menahan rasa sakit.
Benar-benar merasa hancur hidup saya. Ditambah lagi dengan semua teman-teman saya seperti meninggalkan saya begitu saja ketika tubuh ini mulai tergeletak lemah ditempat tidur seetiap hari. Mereka tidak pernah menghubungi saya lagi.
Saya hanya bisa melamun setiap hari. Kondisi saya terus menurun. Halusinasi-halusinasi mulai berkelebat di otak saya. Saya menjadi orang yang sangat pelupa. Apa yang baru saja saya omongin pun, kadang lupa. Kejadian yang telah terjadi hari kemarin pun lupa.
Dengan melihat kondisi saya seperti itu. Orang tua saya memutuskan untuk membelikan laptop. Karena memang sebelum aku masuk rumah sakit aku sudah meminta dibelikan laptop. Dengan harapan, kalau saya punya laptop minimal saya bisa menulis apa saja dengan laptop itu, syukur-syukur menghasilkan sebuah karya.
Kegembiraan saya hanya bertahan kira-kira dua minggu. Habis itu, laptop hanya saya biarkan menganggur.
Orang tua saya sepertinya memutar otak lagi untuk bisa memberikan kebahagiaan pada diri saya. Akhirnya terbelilah modem. Bangkitlah semangat saya lagi dengan adanya modem. Tapi Allah berkata lain, baru senang-senangnya bercengkerama selama seminggu dengan modem, saya harus masuk rumah sakit lagi.
Dan cobaan itu tambah berlipat. Setelah keluar dari rumah sakit, Allah mengurangi nikmat saya untuk bisa berjalan. Saya hanya bisa berbaring dan semuanya dilayani. Sungguh tidak bergunanya hidup saya.
Saya mencoba untuk terus bangkit. Saya tidak boleh terpuruk terus. Saya harus memberikan kemanfaatan untuk orang lain. Walaupun saya hanya bisa berbaring, tapi akan saya buktikan bahwa saya tetap mampu memberikan kebaikan kepada orang lain.
Saya mulai menulis, menulis dan menulis. Menulis apa saja. Ketika saya harus menulis sebuah cerpen misalnya, saya harus dengan susah payah, membaca berkali-kali apa yang sudah saya tuliskan diawal, pasalnya lupa. Ide yang sudah muncul di otak pun tiba-tiba hilang. Tapi saya  terus berusaha.
Mulai saya posting tulisan-tulisan saya di blog pribadi, di note fb, dan di share ke teman-teman. Alhamdulillah mendapatkan respon bagus dari teman-teman. Hingga menumbuhkan semangat baru dalam diri saya. Teman-teman yang dulu tidak begitu akrab pun mulai curhat/konsultasi lewat fb. Rasanya hidup menjadi berwarna lagi. Saya mulai bangkit. Ternyata saya berguna, tidak seperti apa yang saya pikirkan semula.
Berlembar-lembar tulisan saya hasilkan setiap hari dengan susah payah. Saya menulis bukan dengan kemampuan, tapi saya menulis dengan semangat. Saya sedang berusaha untuk menembus penerbitan. Agar saya buktikan, bahwa dalam kondisi apapun, kita tetap bisa berkontribusi untuk kebaikan.