Laman

Jumat, 19 Agustus 2011

SKENARIO TERINDAH

Sering manusia mengeluh ketika ditimpakan ujinnya. Begitu juga saya. Mengeluh, meratapi nasib, menyalahkan keadaan. Dan tanpa sadar menyalahkan Allah sang pembuat skenario.
‘Setelah kesulitas pasti ada kemudahan’ itulah janjiNya. Tapi kita tetap selalu mengeluh.
‘Allah tidak akan menimpakan ujian melebihi kekuatan hambanya’ surat cinta-Nya sudah menghibur kita. Tapi kita tetap juga tidak mau menerima.
“Ujian ini terlalu berat. Cobaan ini terlalu berat. Aku tak kuat menanggungnya. Kenapa Allah memberikan ujian seberat ini” keluh itu selalu meluncur dari bibir. Melibihi do’a-doa yang teranyam dalam hati.
Ketahuilah, jika kita sedikit mencoba bersabar; sedikit mencoba ikhlas dengan ini semua; sedikit mencoba bermuhasabah; sedikit mencoba mengambil hikmah. Ternyata skenarionya sungguh indah. SkenarioNya lah yang terindah.
Alkisah....seorang gadis belia. Sedang asyik-asyiknya merasakan kenikmatan dunia kampus dengan pergulatan dakwah di dalamnya. Gadis yang beruntung. Di dunia yang sudah carut marut seperti ini dirinya masih bisa bergulat dalam dunia kebaikan. Sebuah hidayah terindah.
Namun, cita-citanya untuk menjadi seorang da’iah. Seorang yang selalu terlibat dalam agenda dakwah, harus terhalang oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Membuatnya harus beristirahat sejenak. Melawan penyakitnya. Mengumpulkan energi untuk bisa tetap berjuang nantinya.
Cuti kuliah menjadi pilihannya.
Ah....bukan masalah. Pikirnya. Gadis itu tetap berniat untuk berkontribusi sebisa mungkin dari rumah. Sekedar ide. Atau mengerjakan sesuatu yang tidak menguras energi. Toh dirinya sudah terbiasa menahan rasa sakit semasa kuliah, dengan padatnya aktivitas.
Tapi, rekan-rekan kerja dakwahnya seakan menjauhinya. Menjauhkan seluruh informasi aktivitas dakwah. Membuat psikologinya down. Menyesali sakitnya. Tidak bisa menerima keadaan yang menimpa dirinya.
“Aku nggak mau dianggap lemah. Aku masih bisa beraktivitas,” keluhnya, ditengah kesendiriannya.
Seiring perjalanan waktu, penyakitnya semakin menjadi. Membuatnya kehilang konsentrasi. Membuatnya kehilangan sedikit memory. Juga membuat motoriknya terganggu. Hingga akhirnya kenikmatan kakinya untuk bisa berjalan diambil-Nya untuk sementara.
Sunnatullah si gadis bukannya menjadi tambah down dengan kehilangan fungsi kakinya. Merasakan sakit yang menjadi setiap harinya. Dia mencoba menguatkan orang di sekitarnya. Meyakinkannya, bahwa dia baik-baik saja.
Hingga dia menemukan ‘pena’ menjadi senjatanya.
“Kalau aku seperti ini terus, aku tidak akan pernah menjadi orang yang berguna. Aku hanya akan menjadi sesosok mayat hidup yang tidak berguna. Aku harus bisa bermanfaat bagi orang lain. Walaupun aku harus selalu terkungkung dengan ruang sempit ini. Dengan mobilitas yang sangat terbatas ini. sakit ini tidak boleh menjadi penghalang langkahku. Aku harus tetap maju. Waktu selalu berjalan. Aku tidak bisa menunggu.”
Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk menulis. Paling nggak dengan menulis, pemikirannya  bisa dibaca orang. Dia sangat berharap orang lain bisa mengambil pelajaran dari tulisan-tulisannya. Asa itu sedikit memancarkan sinarnya.
Walaupun dia harus tertatih. Bukan suatu yang gampang baginya untuk menulis. motoriknya yang kadang tidak setabil, membuat jari jemarinya tidak terkoordinasi dengan baik. Rasa sakit yang selalu mengerjai. Konsentrasi yang kacau. Dan memory pendek yang sering terganggu. Tapi dia tidak peduli.
‘Yang penting aku menulis, apapun hasilnya’
Mungkin orang-orang di sekitar dia menganggapnya terlalu berobsesi. Punya mimpi yang terlalu tinggi.
Penolakan-penolakan dari penerbit selalu ditelannya. Dan dilupakan begitu saja. Menjadikan pelajaran untuknya, agar menulis lebih baik. membuatnya selalu belajar dari proses dan keadaan.
Dikala dunia literasi tidak ramah padanya, suatu tamparan besar diterimanya. Ayahnya harus berpulang terlebih dahulu menghadapNya.
‘Aku harus kuat. Aku harus bisa membahagiakan ibu. Orang tuaku kini, satu-satunya.’
Kepergian ayahnya membuatnya  belajar memaknai hakikat hidup. Hidup dan mati itu hanya ketentuan-Nya. Yang dulu dia sering merasa bahwa umurnya sudah tidak seberapa dengan penyakitnya. Kini mulai tersadar, ayahnya yang sehat itu telah mendahuli kepergiannya.
‘Allah pasti sedang membuat skenario terindah untukku’ maindset telah di tanam di dalam otaknya.
 Hatinya semakin mendidih. Semangatnya semakin membara. Dia terus mencoba membuat hidup ini lebih bermaknan degan aktivitasnya. Tidak bosan-bosannya dia mengirimkan naskahnya ke media.
Dan juga mulai membuat usaha baru, yang bisa dikerjakannya tanpa aktivitas berat. Apalagi keluar rumah.
Akhirnya dia bisa membuktikannya, setelah terus mencoba menulis, mengirimkan tulisan-tulisannya ke media dan penerbit, ada salah satu naskahnya yang diminati penerbit.
Dikala nikmat itu datang, nikmat-nikmat lain pun bermunculan. Usaha yang dirintisnya mulai mennampakkan hasil. Dan kini dirinya juga mendapatkan penawaran untuk membimbing junior-junior literasi di sebuah sekolah.
Cita-cita yang dulu terpendam, kini akhirnya terwujud, dengan skenario terindahNya.
‘Pasti Allah sedang merancang skenario indah lagi setelah ini’ gumamnya sambil mengulaskan senyum dengan bersandar pada tongkat besinya.
Beribu nikmat itu, ada di balik ujiannya.................

BELAJAR DARI KALIAN


Rasa gembira tiba-tiba menyeruak ketika ada sebuah tawaran untuk menemani jundi-jundi kecil merangkai kata, mengasah pena, mencipta makna. Untuk mengubah dunia dengan pena.
“Sebuah mimpiku akan terwujud lagi,”  gumamku. Mimipi untuk bisa belajar menulis bersama jundi-jundi kecil. Saling memotivasi untuk menulis. meningkatkan kualitas tulisan. Dan terus berlomba untuk menyampaikan kebaikan.
Sabtu, 6 Agustus 2011
Sebuah pertemuan yang sangat aku rindukan. Belum ada dibenakku bagaimana aku berbagi dengan mereka. Terbatas sekali aku dapatkan informasi dari mereka. Dengan berbekal secarik kertas yang ku corat-coret semalam, aku mencoba melangkah dengan pasti memasuki sekolah itu.
Satu hal yang terlintas di benakku. Mereka masih duduk di sekolah dasar. Kemungkingkinan besar, proses belajar menulis di sini masih mula sekali. Sehingga aku mempersiapkannya dengan hanya sebuah motivasi. Aku menganggap mereka masih terpaksa untuk masuk ke dalam ekstra ini. Atau ada keinginan tapi belum tahu apa-apa tentang dunia literasi.
Namun, betapa tercengangnya aku, ketika memasuki sebuah ruangan (perpustakaan sementara). Bidadari-bidadari kecil itu langsung berceloteh riang mengenai dunia literasi yang jauh diatas usia mereka. Beberapa tulisan mereka juga pamerkan. Jumlah koleksi buku bacaan mereka sebutkan. Dan penulis idola mereka sebutkan.
Aku benar-benar bingung harus menyampaikan materi apa. Materi yang telah aku siapkan, sudah mereka kuasai semua. Akhirnya kugunakan hari itu untuk menyelami pengetahuan dan pengalaman mereka di dunia literasi. Agar kedepannya aku bisa berbagi dengan mereka, apa yang belum mereka ketahui.
Dan akhirnya kulemparkan sebuah pertanyaan mengenai ‘tujuan menulis’ kepada mereka. Kudapatkan jawaban yang sangat beragam. Dari yang pengin terkenal, sampai yang hanya untuk menghilangkan stress. Yang aku sayangkan, mereka tidak menyebutkan satu tujuan yang berorientasi dunia akhirat itu.
Ya aku cukup memaklumi, semangat mereka untuk menggoreskan pena saja sudah menjadi sebuah prestasi tersendiri  bagi mereka. Tujuan bisa dilurukan seiring berjalannya waktu. Ketika mereka sudah memahami hakikiat jalan ini, mereka juga akan paham dengan sendirinya.
Aku mencoba untuk meluruskan tujuan mereka, yang bersifat duniawi itu. Karena tujuan sama dengan niat. Akan menjadi sia-sia jika dalam mengerjakan sesuatu tidak diniatkan sebagai ibadah kepada Allah, dengan tujuan untuk kebaikan. Balasan Allah tergantung dari niatnya. Apa tujuan kita, ya itu yang akan kita peroleh. Tujuan untuk menjadi terkenal, maka terkenal akan di dapatkan. Namun, jika diniatkan untuk ridho Allah, untuk kebaikan. insyaAllah ridhonya akan di dapat dan popularitas juga menjadi bonus.
“Bu...bu...saya punya ide..." celetuk gadis kecil yang dari tadi sibuk dengan bukunya. ntah menulis atau membaca.
Kami menghentikan diskusi dan memusatkan perhatian padanya.
"Ide apa?" tanyaku antusias.
          "Ide nulis tentang Bu Khusnul," ucapnya masih sedikit malu dan salah menyebut namaku. Teman di sampingnya mencoba membenarkannya.
Rasanya campur aduk. Antara senang, haru, bangga. Mereka semua benar-benar sudah memiliki jiwa penulis. Peka terhadap lingkungan. Mungkin dia terinspirasi dengan keadaanku yang kurang sempurna ini.
"Lho baru juga kenal beberapa menit. apa yang mau ditulis tentang Bu Khusnul?" tanyaku bersama guru pendamping dari sekolah itu.
“Ya, betapa mulianya Bu Khusnul,” jawabnya polos.
Ah....membuat hatiku tambah basah.
“Lho dari mana tahu kalau Bu Khusnul, mulia?” tanya guru pendamping dari sekolah.
Dia hanya menunduk, diam dan bingung untuk memberikan jawaban.
Waktu satu jam yang diberikan sekolah untuk kami, terasa begitu singkat.
“Dikasih PR, Bu!” pinta mereka. Waduh, semangat mereka luar biasa. Aku benar-benar malu dengan mereka. Aku yang belajar dari mereka. Bukan mereka yang belajar kepada aku.
Dan ketika pertemuan akan kututup. Mereka sedikit protes.
“Sepertinya, baru beberapa menit deh, Bu,” membuatku terheran-heran lagi. Ya bagaimana lagi. Mereka sudah dijemput. Pihak sekolah juga hanya memberika waktu sebatas itu.
“bagiku belajar bersama mereka, berjam-jam pun tidak akan pernah bosan. Semoga semangad mereka terus terjaga.”

ZAKAT DAN KEMISKINAN


            Setiap hari tak luput dari media, berita mengenaskan mengenai kemiskinan. Dari banyak anak-anak yang putus sekolah; terkena busung lapar sampai meninggal; makan nasi aking karena sudah tak mampu lagi menjangkau harga beras yang terlampau tinggi sekarang ini. Setiap hari bukannya semakin berkurang angka kemiskinan, tapi semakin bertambah. Sedangkan kemiskinan dekat dengan kekufuran.  
            Inti dari masalah kemiskinan menurut Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan dari inggris adalah adanya jebakan kemiskinan. Jebakan kemiskinan itu terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit keluarga miskin, yaitu kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan. Kelima hal tersebut salng berkaitan satu denan yang lainnya, sehingga menyebabkan jebakan yang berkepanjangan. Dua hal yang harus diperhatikan yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan. Kerentanan adalah ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuau untuk menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam dan penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga tersebut. Kerentanan itu sering menjadi sebab menjadikan keluarga miskin harus menjual hartanya yang tersisa sehingga keluarga itu menjadi semakinmiskin. Ketidak berdayaan membuat keluarga miskin menjadi semakin miskin, karena lemahnya posisi tawar keluarga miskin jika dihadapkan pada peraturan, kebijakan pemerintah atau orang-orang kaya yang tidak bertanggung jawab.
            Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digagas untuk mengentaskan kemiskinan oleh pemerintah pun menuai kasus. Dari kasus tidak sampainya bantuan pada sasaran yang semestinya, sampai kasus penerimaan BLT yang sering menuai korban karena berdesak-desakan.
Merupakan sebuah ironi, jika rakyat Indonesia mengalami kemiskinandan kelaparan. Kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa seharusnya dapat mencukup kebutuhan hidup seluruh rakyat Indonesia. Apalagi dengan mayoritas penduduknya yang muslim, yang diperintahkan untuk berzakat, infak, sedekah dan wakaf bagi yang berkelebihan untuk membantu yang kekurangan.
            Berzakat melalui kelembagaan resmi, baru dikenal setelah adanya anjuran Presiden Soeharto untuk mengkoordinir pengelilaan zakat dengan membentuk Bazis DKI Jakarta pada tahun 1967.
            Pengembangan pengelolaan zakat di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat. Dengan Undang-Undang tersebut lahirlah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan lembaga Badan Amil Zakat-Badan Amil Zakat di wilayah provinsi dan daerah-daerah kabupaten.
            Namun, dengan dibentuknya lembaga khusus untuk menangani hal ini pun belum dapat menyelesaikan problem penyaluran zakat. Kaum muslim yang diberikan kelimpahan harta oleh Allah, tidak melaksanakan kewajibannya untuk berzakat secara semestinya. Padahal jika sistem penyaluran zakat dilaksanakan dengan semestinya, dengan aturan yang telah ditentukan oleh syari’at, itu dapat mengetaskan kemiskinan dalam pemerataanekonomi masyarakat. Selain itu terjadi pula masalah dalam hal penyalurannya. Agar penyaluran zakat memberikan dampak yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan harus ada pemilihan program penyaluran zakat. Dimana diharapkan dengan adanya sistem pemilihan program penyaluran zakat ini, zakat yang disalurkan akan berfungsi dengan baik. Zakat dapat menberikan efek positif yang lebih banyak bagi keluarga miskin.
Saat ini program pendayagunaan zakat yang paling diminati oleh lembaga pengelola zakat adalah program pendidikan, dengan alasan : pertama, semua orang sepakat bahwa jalur untuk mengubah nasib adalah melalui pendidikan. Kedua, program ini relatif mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan ketrampilan khusus bagi para Amil, dan yang ketiga, lebih mudah untuk dilakukan evaluasi hasilnya. Dari pendidikan ini merupakan sebuah pokok dari pengentasan kemiskinan. Dengan kualitas pendidikan yang baik diharapkan nantinya dapat dihasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualintas yang dapat mengolah Sumber Daya Alam (SDA) dengan maksimal, sehingga hal itu dapat mengentaskan kemiskinan. 
Zakat tidak harus di berikan kepada mustahik dalam bentuk bantuan uang. Namun harun dengan pengelolaan yang baik agar tercapai tujuan zakat yang semestinya. Menurut DR. Yusuf al-Qardhawi cara untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan menggalakkan kerja di kalangan kaum miskin, baik dengan cara menyemangatinya maupun dengan menyediakan lapangan kerja, karena bekerja merupakan perintah Allah SWT yang sangat jelas bahwa setiap manusia harus bekerja. Namun, hal ini pun juga seringkali menuai problem. Oleh karena itu, perlu adanya sistem pendampingan dalam hal ini.